LITERASI
LITERASI SEBAGAI PENGUSUNG PERADABAN DAN REFLEKSI DEMOKRASI
Abstraksi
Lego Erco Scio adalah istilah latin yang sangat lazim dipahami oleh seorang Penulis,sebuah istilah yang
memiliki makna saya memabaca buku maka saya tahu, istilah ini diyakini memiliki makna ideologis
,ontologis dan epistomologis yang bermakna universal.
Istilah ini dirasakan mengena dengan kondisi Budaya Temporer kita saat ini, yang dalam melihat
sebuah peristiwa lebih diwarnai ataupun diinduksi dari Perspektif Kepentingan entah itu bermuatan
Politik, ataupun Persepektif kesesuaian ideologis, bukan berdasarkan dari Kerangkan Berpikir yang
bersumber dari Buku Buku yang memiliki Obyektifitas yang teruji, sehingga tidak heran Penulisan
Sejarah diwarnai dari Haluan Politik dari Penulisnya.
Hal diatas memiliki Implikasi logis Narasi narasi yang dibangun bukan lagi berdasarkan Obyektifitas
Keilmuan namun lebih ke subyektifitas Ideologis Penulis, sehingga hal ini sudah dirasakan perlu untuk
memurnikan kembali Obyektifitas sebuah karya tulis dan menjadikan sebuahTulisan sebagai
Pengusung Peradaban Dan Menjadi Refleksi hidupnya Demokrasi, karena Penulisan tidak lagi di
politisasi hal ini sejalan dengan Pernyataan dari Barrbara Tuchman Wertheim(1912-1989) sejarawan
dan penulis berkebangsaan amerika yang dua kali memenangkah Pulitzer “Buku adalah Pengusung
Peradaban, tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh pemikiran macet,buku adalah
mesin perubahan,jendela Dunia, mercesuar yang dipancangkan di samudera waktu”
Hal hal yang dapat dilakukan untuk menjadikan Literasi sebagai Pengusung Peradaban dan mampu
menjadi refleksi hidupnya sebuah deamokrasi adalah dengan
Menghidupkan kembali Budaya Gemar
Membaca dibandingkan Asyik
mendengar.
Mengutip Detik Net
tentang rendahnya
minat membaca
bangsa Indonesia
bersumber dari
PISA: Indonesia
ranking 62 dari 70
negara
Penelitian PISA
menunjukkan rendahnya
tingkat literasi Indonesia dibanding negaranegara di dunia. Ini adalah hasil penelitian
terhadap 72 negara. Respondennya adalah anakanak sekolah usia 15 tahun, jumlahnya sekitar
540 ribu anak 15. Sampling error-nya kurang
lebih 2 hingga 3 skor.
Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara
yang disurvei (bukan 72 karena 2 negara lainnya
yakni Malaysia dan Kazakhstan tak memenuhi
kualifikasi penelitian). Indonesia masih
mengungguli Brazil namun berada di bawah
Yordania. Skor rata-rata untuk sains adalah 493,
untuk membaca 493 juga, dan untuk matematika
490. Skor Indonesia untuk sains adalah 403,
untuk membaca 397, dan untuk matematika 386.
Melihat hal tersebut sehingga gerakan
menghidupkan Gemar Membaca sudah menjadi
sangat Urgen, bukan hanya sekedar mengayakan
wawasan namun lebih kepada kemampuan
untuk menguji sebuah narasi yang dibangun Oleh
Penyampai Informasi dan tidak sekedar
mengamini, dan asyik menyakini apa yang
didengar namun juga dengan budaya gemar
membaca mampu mengaktivasi kemampuan
berpikir kritis atas setiap karya tulis.
Agar Bangsa kita tidak terus dalam kubangan
keterbelakangan maka mendorong budaya
Gemar membaca harus menjadi budaya kita, kita
dapat belajar dari Bill Gates pemilik Microsoft
yang Membaca 50 Buku dalam Setahun, Mark
Zuckerberg Pendiri Facebook Membaca 1 Buku
Baru Setiap 2 Minggu Selama Setahun, Bung
Hatta yang mempunyai metode membaca unik
yang dibaginya atas dua periode waktu dalam
sehari. Untuk buku-buku yang berat dan bertema
pelajaran, Bung Hatta menyisihkan waktu di
malam hari untuk membacanya. Di sisi lain, untuk
buku ringan seperti roman dan lainnya, akan
dibacanya sekitar pukul empat atau setengah
lima sore. Walhasil, dengan menggunakan
metode ini, sekitar kurang lebih 30.000 buah
buku yang ada di perpustakaannya mungkin
sudah selesai dibacanya.
Membangun sebuah Forum Group
Discussion yang lebih Dewasa;
Seyogyanya Diskusi bukan hanya sekedar
penyampaian sebuah informasi searah, dengan
hanya pada satu perspektif pembicara, namun
diskusi dimaksudkan untuk membangun
kesamaan Persepsi melalui brain storming,
sehingga menjadi wajar dalam proses Diskusi
terdapat dialektika Perang Persepsi dalam
melihat sebuah permasalahan, hal ini sejalan
dengan yang disampaikan oleh Irwanto (1998)
mengenai definisi Fokus Grup Discussion yakni
merupakan sebuah proses pengumpulan
informasi suatu masalah yang sangat spesisifik
melalui diskusi kelompok.
Dengan demikian, FGD berarti suatu proses
pengumpulan data dan informasi yang sistematis
mengenai suatu permasalahan tertentu yang
sangat spesifik melalui diskusi kelompok.
Dalam pelaksanaan FGD dilakukan dengan cara
berdiskusi dengan para nara sumber di suatu
tempat dan dibantu dengan seseorang yang
memfasilitatorkan pembahasan mengenai suatu
masalah dalam diskusi tersebut. Orang tersebut
disebut dengan moderator
menurut Astridya Paramita dan Lusi Kristiana
FGD dimaksudkan Teknik Focus Group Discussion
(FGD) seringkali digunakan para pembuat
keputusan atau peneliti
dalam penelitian kualitatif untuk menggali data
mengenai persepsi, opini, kepercayaan dan sikap
terhadap suatu produk,pelayanan, konsep atau
ide, karena relatif lebih mudah dan cepat selesai
dibandingkan dengan teknik pengumpulan data
kualitatif yang lain. Namun dalam
pelaksanaannya, banyak kegiatan FGD yang
belum dilaksanakan sesuai dengan kaidah
sehingga hasilnya tidak dapat maksimal. Tulisan
ini dimaksudkan dapat menyegarkan kembali
ingatan peneliti mengenai beberapa kaidah
dalam FGD yang perlu diperhatikan agar hasil
FGD dapat maksimal sesuai tujuan penelitian.
Metode: berdasarkan studi penelusuran pustaka.
Hasil: Kelemahan dari teknik ini adalah tidak
dapat digunakan untuk tujuan kuantitatif,
misalnya tes hipotesis, tidak dapat digunakan
pada pembahasan sebuah topik yang sangat
sensitive, peserta kadang sulit dikendalikan
ketika diskusi berlangsung, serta hasil dan
kesimpulan diskusi terkadang dipengaruhi oleh
pandangan dan pendekatan dari moderator
Halaman 4 dari 6
Memurnikan Kembali Penulisan
Sejarah
Selama ini dalam Penulisan Peristiwa sejarah
lebih diwarnai dari Pandangan Ideologi dari
Penulisnya tentang sebuah peristiwa sejarah,
sehingga menjadi lazim penulisan sejarah yang
dikoreksi ketika kekuasaan berganti,juga
penulisan sejarah seringkali diselewengkan
semestinya fakta itu harus disusun sejujur
mungkin, sehingga tidak terjadi kebenaran
semu atau pemutarbalikan makna suatu
peristiwa.Pemutarbalikan kebenaran pun
terjadi dalam penulisan sejarah Islam di
Indonesia. Misalnya sering kita temukan
buku sejarah menulis tentang mula-mula
masuknya Islam di Indonesia pada abad ke13, padahal sudah diambil keputusan bahwa
Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad
pertama Hijriah (abad ke 7 Masehi) langsung
dari Arab. Keputusan ini diambil melalui
berkali-kali seminar dimulai tahun 1963 di
Medan dilanjutkan pada tahun 1978 di Banda
Aceh dan seminar terakhir pada tahun
1980.Mengapa terjadi pendapat perbedaan
rentang waktu yang begitu panjang? Di satu
pihak berpendapat abad ke-7, sementara
dipihak lain berpendapat abad ke-13.
Pendapat yang terakhir disponsori oleh ahli
sejarah asing, di antaranya yaitu Snouck
Hurgronje.Kita menyadari bahwa ahli sejarah
asing, ketika berbicara tentang Islam
menghasilkan pendapat yang tidak jujur dan
subjektif. Hal ini disebabkan karena
beberapa faktor, berikut:
1. Berusaha menyelewengkan atau mendangkalkan sisi sejarah Islam.
2. Metodologi penulisan sejarah yang
sangat subjektif.
3. Pemahaman mereka tentang Islam hanya
sepotong-potong dan tidak utuh.Dalam
rangka menghindari ketidakjujuran
tentang fakta sejarah, maka diperlukan
ahli sejarah bangsa sendiri untuk
mempelopori penulisan sejarah
Indonesia, termasuk umat Islam melalui
metodologi dan penelitian yang objektif.
4. Islam di Indonesia Pada masa
pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan
Orde Baru, banyak kalangan menganggap
kedua rezim ini tidak apresiatif terhadap
Islam. Bahkan kedua rezim ini dianggap
telah melakukan proses peminggiran
aspirasi umat Islam di Indonesia. Namun,
kebijakan otoriter pemerintah bisa juga
dilihat sebagai hikmah. Pengalaman
politik yang terpinggirkan bukan saja
memberikan kearifan baru, tetapi juga
mendorong cendekiawan Islam untuk
merumuskan berbagai alternatif
perjuangan.( Sumber: Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam:2002)Membuka Relung
Kalbu
Kesimpulan
Literasi
sebagai gerakan yang dimaksudkan untuk
mengusung peradaban dan diharapkan
menjadi refleksi atas hidupnya sebuah
demokrasi ssebuah bangsa, hal ini ditandai
dengan banyaknya karya tulis yang bebas
dari intervensi politik ataupun politisasi
penulisan, tidak berpihaknya sebuah tulisan
dari Konsepsi Ideologis tertentu, namun lebih
kepada kejurjuran darisebuah peristiwa yang
Halaman 5 dari 6
dicermati dengan tinjauan akademis yang
dapat diuji.
Literasi dapat menjadi Pengusung Peradaban
di Indonesia dengan mendorong hal-hal
berikut;
1. Menghidupkan kembali Budaya Gemar
Membaca dibandingkan Asyik mendengar.
2. Membangun sebuah Forum Group
Discussion yang lebih Dewasa;
3. Memurnikan Kembali Penulisan Sejarah
No comments
berkomentar yang sopan dan tertib