FGD
LAPORAN FGD SINERGI DAN KONVERGENSI PROGRAM PENANGANAN STUNTING DI PROVINSI BENGKULU
LAPORAN FGD SINERGI DAN KONVERGENSI PROGRAM PENANGANAN
STUNTING DI PROVINSI BENGKULU
by PPAII Team
1. PENDAHULUAN
Permasalahan stunting di Indonesia masih perlu
banyak mendapat perhatian, termasuk di Provinsi Bengkulu. Masih tingginya kasus
kekurangan gizi pada anak yang mengakibatkan penurunan pada pertumbuhan fisik
serta daya kemampuan otak harus dicegah sejak dini. Hal ini sangat penting,
sebab upaya penanganan stunting sejak
dini sangat menentukan kualitas sumber daya manusia di Indonesia agar mampu
untuk bersaing di skala global. Stunting sendiri
merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis
dan infeksi berulang terutama dalam seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK)
sehingga anak lebih pendek untuk usianya (Kemenkes).
Berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) jumlah stunting Provinsi Bengkulu pada tahun 2018 sebesar 28%, dan jika
mengacu pada data Elektronik Pelaporan Berbasis Gizi Masyarakat (EPBGM) hanya
berkisar pada angka 17,2%. Adapun perbedaan hasil dari data stunting dari
kedua badan riset tersebut, semata karena perbedaan sampel yang digunakan
dimana pada Riskesdas menggunakan sampel berdasarkan kerangka sampel Blok
Sensus (BS) Susenas bulan Maret 2018 dari BPS, sedangkan pada e-PPGBM adalah
berdasarkan data yang telah diinput oleh enumerator di Provinsi Bengkulu tahun
2018 sampai batas waktu yang telah ditentukan dan didapatkan sebanyak 87.673
balita dan ini belum keseluruhan populasi (https://dinkes.bengkuluprov.go.id/penurunan-stunting-provinsi-bengkulu/).
Dalam
rangka percepatan pencegahan stunting, pemerintah
meluncurkan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas PPG) 1.000 HPK
yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2013 tentang Gernas
PPG. Dalam pembuatan kebijakan, pemerintah memberikan perhatian besar terhadap
pencegahan stunting. Indikator dan
target pencegahan stunting telah
dimasukkan dalam sasaran pembangunan nasional dan tertuang dalam Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dan dalam penganggaran
APBN, upaya ini dimasukkan dalam Anggaran Tematik APBN dengan tema Upaya
Konvergensi Penanganan Stunting sesuai
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.02/2018. Secara kuantitatif bertujuan
untuk mengidentifikasi output K/L dan mengalokasikan anggaran terkait
percepatan pencegahan dan penuruan stunting.
Sedangkan secara kualitatif untuk memastikan intervensi
pencegahan/penurunan stunting dilakukan
secara terintegrasi lintas sektor.
TNP2K pada tahun 2018
telah menetapkan satu kabupaten sebagai lokus prioritas tahap I
penanganan stunting di Provinsi Bengkulu yaitu Kabupaten Kaur.
Adapun penetapan lokus tersebut dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti
jumlah penduduk, prevalensi stunting, tingkat kemiskinan dan
jumlah penduduk miskin. Kabupaten Kaur yang ditetapkan kemudian juga
ditetapkan sepuluh desa sebagai lokus, yaitu:
1.
Desa Padang Tinggi
2.
Desa Pengubaian
3.
Desa Tanjung Betuah
4.
Desa Air batang
5.
Desa Mentiring II
6.
Desa Tuguk
7.
Desa Cucupan
8.
Desa Babat
9.
Desa Datar Lebar
10.
Desa Talang Jawi
Kemudian dalam penetapan prioritas
kabupaten dan desa tahap II tahun 2019 Provinsi Bengkulu mendapat tambahan
lokus yaitu Kabupaten Bengkulu Utara dengan Desa yang ditetapkan sebagai
berikut :
1.
Desa Air Padang
2.
Desa Ulak Tanding
3.
Desa Kinal Jaya
4.
Desa Jabi
5.
Desa Meok
6.
Desa Gembung Raya
7.
Desa Tebing Kandang
8.
Desa Talang Berantai
9.
Desa Taba Kulintang
10.
Desa Tanjung Alai
Adapun tujuan
penetapan lokus tersebut adalah agar setiap Kementerian terkait mengalokasikan
program dan kegiatannya berupa kegiatan padat karya dan penanggulangan stunting serta
mensosialisasi kepala daerahnya tentang kegiatan tersebut. Dinas Kesehatan
Provinsi Bengkulu pada tahun 2018 juga telah menindaklanjuti prioritas
pemerintah pusat dalam penanggulangan stunting dengan
menetapkan Rencana Aksi Daerah yang dinamakan “AKSI RAFFLESIA”. Aksi tersebut
berisi kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya penanggulangan stunting di
Provinsi Bengkulu dengan tujuan jangka panjangnya adalah “BENGKULU BEBAS
STUNTING 2030”.
Berkaitan dengan
upaya penanganan stunting serta penyusunan
Kajian Fiskal Regional (KFR) Tahunan 2019 dengan tema spesifik ‘Sinergi dan
Konvergensi Program Penanganan Stunting di
Daerah’ sebagaimana tertuang dalam Nota Dinas Direktur Pelaksanaan Anggaran
Nomor ND-54/PB.2/2020 tanggal 22 Januari 2020 tentang Penyusunan dan Tema
Analisis Tematik KFR Tahunan 2019, Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Bengkulu mengadakan ‘Focus Group Discussion Sinergi dan Konvergensi
Program Penanganan Stunting di
Provinsi Bengkulu’ pada 10 Februari 2020 di Aula Raflesia Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Bengkulu untuk mendiskusikan
bersama terkait permasalahan penanganan stunting
serta menyamakan persepsi agar program dapat berjalan sesuai dengan
peraturan serta mencapai target yang diharapkan.
1. PEMBAHASAN
Stunting disebabkan
oleh faktor multidimensi oleh karena itu harus ditangani multisektor. Secara
umum, penyebab stunting menurut Kemenkes antara lain (1) praktek pengasuhan
yang tidak baik, (2) terbatasnya layanan kesehatan, (3) kurangnya akses ke
makanan bergizi, dan (4) kurangnya akses air bersih dan sanitasi. Dari berbagai
penyebab masalah stunting, fokus
Pemerintah adalah penanganan masalah kekurangan gizi kronis atau malnutrisi.
Konsep malnutrisi menurut UNICEF adalah:
Menurut Kemenkes
(2018), guna mengatasi hal tersebut, terdapat tiga kegiatan yang harus
dilakukan yaitu:
1.
Intervensi Gizi Spesifik
Intervensi lebih ditujukan pada upaya menangani penyebab langsung
masalah gizi (asupan makan dan penyakit infeksi) dan berada dalam lingkup
kebijakan kesehatan. Melalui intervensi spesifik, sekitar 15 persen kematian
balita dapat dikurangi bila intervensi berbasis bukti tersebut dapat ditingkatkan
hingga cakupannya 90 persen, termasuk stunting yang dapat diturunkan sekitar
20,3 persen serta mengurangi prevalensi sangat kurus 61,4 persen. Selebihnya
membutuhkan peran dari intervensi sensitif (sekitar 80 persen).
2.
Intervensi Gizi Sensitif
Intervensi ditujukan untuk mengatasi penyebab tidak langsung yang
mendasari terjadinya masalah gizi (ketahanan pangan, akses pelayanan kesehatan,
kesehatan lingkungan, serta pola asuh) dan terkait dengan kebijakan yang lebih
luas tidak terbatas bidang kesehatan saja tetapi juga pertanian, pendidikan,
penyediaan air bersih dan sanitasi, perlindungan sosial, dan pemberdayaan
perempuan. Program dan kebijakan gizi sensitif ini memiliki kontribusi yang
cukup besar untuk mendukung pencapaian target perbaikan gizi meskipun
secara tidak langsung.
3.
Lingkungan yang Mendukung
Lingkungan yang
mendukung ditujukan untuk faktor-faktor
mendasar yang berhubungan dengan status gizi seperti
pemerintahan, pendapatan, dan kesetaraan. Investasi ini dapat berbentuk
undang-undang, peraturan, kebijakan, investasi untuk pertumbuhan ekonomi, dan
peningkatan kapasitas pemerintahan. Sebagian besar investasi yang menyasar pada
penyebab tidak langsung dan akar masalah gizi bukanlah hal yang langsung
berkaitan dengan masalah gizi, dengan kata lain kegiatan yang dilakukan tidak
secara eksplisit ditujukan untuk tujuan penanggulangan masalah gizi, namun
intervensi ini dapat menjadi bagian penting dari perbaikan gizi.
Percepatan pencegahan stunting lebih
efektif bila intervensi gizi baik spesifik maupun sensitif dilakukan secara
konvergen. Konvergensi merupakan pendekatan intervensi secara terkoordinir dan
terpadu serta bersama-sama pada target prioritas. Intervensi secara konvergen
dilakukan dengan menggabungkan atau mengintegrasikan berbagai sumber daya untuk
mencapai tujuan bersama dalam hal ini adalah pencegahan stunting. Upaya ini
dapat dicapai jika:
1.
Program nasional, daerah, dan
desa sebagai penyedia layanan intervensi gizi spesifik dan sensitif
dilaksanakan terpadu dan terintegrasi sesuai kewenangan;
2.
Layanan setiap
intervensi gizi tersedia
dan dapat diakses
bagi masyarakat yang membutuhkan terutama pada kelompok
1.000 HPK;
3.
Kelompok target prioritas
menggunakan dan mendapatkan manfaat dari layanan tersebut.
Berikut akan kita bahas terkait
penanganan stunting oleh pemerintah
melalui belanja K/L dalam APBN.
Lampiran II.A - Belanja Penanganan Stunting
Tahun Anggaran 2019: Intervensi Gizi Spesifik
Sebelumnya telah
dijelaskan bahwa tidak semua output secara merata ada di semua daerah atau kanwil,
begitu pula dengan output ‘Intervensi Gizi Spesifik’ yang ada di Provinsi
Bengkulu. Pada capaian output ‘Intervensi Gizi Spesifik’, hanya terdapat 11
output yang menjadi target capaian output dalam penanganan stunting di Provinsi Bengkulu.
Berdasarkan data di atas terdapat 10 output yang sudah memenuhi target
capaian output dengan hasil yang cukup memuaskan yakni sebesar 100%, sedangkan
1 output lainnya baru mencapai 91% yakni output ‘Layanan capaian eliminasi malaria’
pada kegiatan ‘Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang’.
Apabila ditelusuri menurut data pada
aplikasi ‘MEBE’ yang menunjukkan informasi pelaksanaan anggaran, terdapat 16
output yang termasuk dalam output ‘Layanan capaian eliminasi malaria’. Namun hanya
5 output yang sudah merealisasikan anggaran hingga mencapai angka persentase
sebesar 100% dan 11 diantaranya belum mencapai target hingga angka persentase
tersebut. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian, sebab sebagian besar realisasi
anggaran tidak tercapai pada output tersebut. Bahkan ada salah satu output yang
hanya mencapai 13,30% dalam realisasi anggarannya.
Lampiran II.B - Belanja Penanganan Stunting Tahun
Anggaran 2019: Intervensi Gizi Sensitif
Pada Intervensi Gizi
Sensitif terdapat 7 output yang menjadi target capaian output dalam penanganan stunting di Provinsi Bengkulu. Sebagian besar output tersebut telah
mencapai target yang cukup memuaskan yakni 5 output diantaranya telah mencapai
target sebesar 100%. Namun 2 output lainnya tidak tercapai targetnya sama
sekali atau persentasenya sebesar 0%, yakni output ‘SPAM Terfasilitasi’ dan
output ‘SPAM Berbasis Masyarakat’. Selain itu realisasi anggaran pada 2 output
tersebut dinilai perlu menjadi perhatian, sebab ada realisasi anggaran yang
sudah terserap hingga 77,60% dan ada yang sama sekali tidak terserap atau
persentase sebesar 0%.
Apabila ditelusuri menurut data pada
aplikasi ‘MEBE’ yang menunjukkan informasi pelaksanaan anggaran, terdapat 2
output yang termasuk dalam output ‘SPAM Terfasilitasi’. Namun semua output
tersebut tidak ada yang terealisasikan atau persentase realisasi anggaran
sebesar 0%. Selain itu terdapat 17 output yang termasuk dalam output ‘SPAM
Berbasis Masyarakat’. Namun hanya 10 output yang sudah merealisasikan anggaran
hingga mencapai angka persentase sebesar 100% dan 7 diantaranya belum mencapai
target hingga angka persentase tersebut. Bahkan realisasi anggaran pada 3
output tersebut tidak terealisasikan sama sekali atau sebesar 0%.
Lampiran II.C - Belanja Penanganan Stunting Tahun Anggaran 2019:
Pendampingan, Koordinasi dan Dukungan Teknis
Pada Belanja Penanganan Stunting
terkait Pendampingan, Koordinasi dan
Dukungan Teknis terdapat 7 output yang menjadi target capaian output dalam
penanganan stunting di Provinsi
Bengkulu. Berdasarkan data di atas,
sebanyak 6 output telah tercapai targetnya hingga angka persentase sebesar
100%, dan 1 diantaranya belum mencapai target atau baru mencapai angka persentase
sebesar 86% yakni pada output ‘Publikasi atau Laporan Statistik Kesejahteraan
Rakyat’.
Apabila ditelusuri
menggunakan aplikasi ‘MEBE’, terdapat 69 output yang termasuk dalam output ‘Publikasi
atau Laporan Statistik Kesejahteraan Rakyat’. Namun baru 24 output yang sudah
melaksanakan realisasi anggaran hingga mencapai angka persentase sebesar 100%,
dan sisanya belum mencapai target hingga angka persentase tersebut. Bahkan ada
3 output yang tidak teralisasikan sama sekali pagu anggarannya.
Sebagian besar pelaksanaan anggaran dan
output untuk mendukung program penanganan stunting
di Provinsi Bengkulu telah
dilaksanakan dengan baik. Namun perbaikan juga perlu dilakukan mengingat ada
beberapa output yang belum tercapai dan perlu ditingkatkan demi tercapainya
tujuan “BENGKULU BEBAS STUNTING 2030”.
Berkaitan dengan tidak tercapainya output-output tersebut, Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Bengkulu melalui kegiatan FGD,
merangkum beberapa kendala serta masukan oleh para instansi K/L terkait program
penanganan stunting di Provinsi
Bengkulu diantaranya sebagai berikut.
1.
Dinas Kesehatan Provinsi
Bengkulu
Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu merupakan salah satu instansi yang
menerima dana APBN untuk ikut mendukung program penanganan stunting di Provinsi Bengkulu. Dalam ‘Focus Group Discussion Sinergi dan Konvergensi Program Penanganan Stunting di Provinsi Bengkulu’ pada 10
Februari 2020 di Aula Raflesia Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Provinsi Bengkulu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu,
Herwan Antoni selaku narasumber yang turut hadir dalam acara tersebut,
memaparkan perkembangan terkait program stunting
di Provinsi Bengkulu. Herwan Antoni menyampaikan bahwa saat ini persentase
stunting di Provinsi Bengkulu berdasarkan Riskesdas sebesar 29,4% dan masih di
atas standar angka stunting yang ditetapkan oleh WHO yaitu 20%. Dinas Kesehatan
Provinsi Bengkulu pada tahun 2018 juga telah menindaklanjuti prioritas
pemerintah pusat dalam penanggulangan stunting
dengan menetapkan Rencana Aksi Daerah yang dinamakan “AKSI RAFFLESIA”. Aksi
tersebut berisi kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya penanggulangan stunting
di Provinsi Bengkulu dengan tujuan jangka panjangnya adalah “BENGKULU BEBAS
STUNTING 2030”. Selain itu beliau juga menyampaikan untuk lebih meningkatkan
sinergi antar lintas sektor agar tujuan untuk mengurangi angka stunting di Provinsi Bengkulu dapat
segera tercapai.
2.
Dinas ketahanan Pangan Provinsi
Bengkulu
Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu merupakan salah satu
instansi yang menerima dana APBN untuk program penanganan stunting di Provinsi Bengkulu dengan lokus stunting di wilayah Kaur dan
Bengkulu Utara. Program yang dijalankan yaitu pemanfaatan lahan keparangan untuk
meningkatkan ketersediaan dan aksesbilitas dalam rangka mencukupi kebutuhan
gizi masyarakat untuk daerah yang rawan pangan berdasarkan data yang diperoleh
dari BAPPENAS. Kegiatan yang dilakukan secara berkelompok tersebut seperti
bercocok tanam sayuran serta memelihara ayam untuk mencukupi kebutuhan protein.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program antara lain:
a.
Desa yang dikunjungi terkadang
tidak terindikasi adanya stunting
atau bahkan tidak sadar stunting. Namun
beruntung pada tahun ini, lokus stunting tidak
hanya direkomendasikan oleh pemerintah pusat, daerah juga diberi kesempatan
untuk memilih wilayah yang ideal untuk menerima bantuan tersebut;
b.
Masyarakat yang masih belum
terlatih sehingga membutuhkan tenaga penyuluh untuk mengajarkan cara beternak
ayam;
c.
Kurangnya konvergensi antar
lintas sektor khususnya peternakan, untuk membina serta memantau
wilayah-wilayah yang menjadi sasaran lokus stunting.
Berkaitan
dengan kendala yang dihadapi seperti yang telah disebutkan di atas, maka
rekomendasi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan konvergensi antar lintas
sektor agar program penanganan stunting dapat
berjalan dengan selaras dan tepat sasaran.
3.
BKKBN Provinsi Bengkulu
BKKBN Provinsi Bengkulu merupakan salah satu instansi yang menerima
dana APBN untuk mendukung program penanganan stunting. Dalam menjalankan program tersebut, ditemukan beberapa
kendala antara lain kendala dalam segi transportasi untuk akses menuju lokasi
kegiatan dan belum padunya penanganan stunting
dengan mitra lintas sektor lainnya. Rekomendasi atas kendala yang dihadapi
dalam pelaksanaan program yaitu stunting harus
dilaksanakan secara bersama antar lintas sektor dan memilih koordinator yang
dapat memadukan serta menggerakkan penanganan stunting di Provinsi Bengkulu agar berjalan secara sinergi.
4.
Badan POM Provinsi Bengkulu
Badan POM Provinsi Bengkulu sebagai salah satu instansi yang
menerima dana APBN terkait penanganan stunting,
memiliki beberapa program antara lain KIE, Gerakan Keamanan Pangan Desa,
Pasar Aman, dan Sekolah yang diintervensi. Pada program KIE, tidak ditemukan
adanya kendala dalam menjalankan program tersebut. Namun pada ketiga program lainnya, ditemukan
kendala sebagai berikut:
a. Kurang atau tidak adanya anggaran pada OPD Pemda;
b. Kurangnya pemahaman perangkat desa untuk program GKPD;
c.
Kurangnya pemahaman bahwa
fungsi pengawasan pasar ada di pemerintahdaerah dan tidak fokus untuk mengawal,
yang mana anggaran pembangunan pasar tradisional sudah terlaksana.
Berdasarkan penjelasan di atas, berikut beberapa masukan untuk
meningkatkan output dalam pelaksanaan program:
a. Pemerintah daerah harus menganggarkan kegiatan pelatihan atau Bimtek
PKP atau DFI bagi petugas Dinkes kabupaten atau kota;
b. Sinergisme anggaran dan kegiatan harus lebih direncanakan dengan
baik;
c. Komitmen pemerintah daerah untuk mendukung program nasional;
d. Penyusunan rencana strategis (RENSTRA) aksi daerah pangan dan gizi
agar lebih dipahami oleh leader yaitu
Bappeda sesuai dengan grand strategi
RANP-G nasional.
5.
Kantor Kesehatan Pelabuhan
Kelas lll Bengkulu
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas lll Bengkulu merupakan salah
satu instansi yang menerima dana APBN untuk program penanganan stunting di Provinsi Bengkulu. Kegiatan
yang dilakukan ialah ‘Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan
Zoonotik’ seperti malaria pada lintas masuk bandara, laut, serta di perbatasan
daerah. Untuk saat ini, kendala yang dihadapi dalam menjalankan program
tersebut yaitu penapisan atau pendeteksian penyakit menular di lintas pintu
masuk laut, udara, dan di perbatasan daerah dari luar negeri, dan masa inkubasi
atau gejala penyakit ini biasanya sudah sampai ke daerah. Penyakit menular yang
dimaksud ialah wabah virus Corona (Covid-19) yang saat ini sedang merebak dan
cukup banyak menelan korban jiwa di beberapa negara di dunia. Rekomendasi terkait
kendala yang dihadapi ialah meningkatkan sinergi antar lintas sektor serta peran aktif kepala
daerah maupun masyarakat untuk melakukan aksi cepat tanggap dengan melaporkan
warganya apabila terindikasi stunting.
1. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kendala
paling utama dalam pengurangan angka stunting
di Provinsi Bengkulu ialah kurangnya koordinasi atau sinergi antar lintas
sektor sehingga program berjalan dengan kurang maksimal. Sinergi yang
dibutuhkan dalam penentuan lokus juga sangat penting, mengingat adanya
permasalahan seperti kurang tepatnya penentuan lokus di wilayah tertentu
mengakibatkan program penanganan stunting
menjadi kurang tepat sasaran. Pentingnya konvergensi antar instansi K/L
terhadap lokus, biaya serta rencana kerja dari tiap instansi diharapkan dapat
berjalan secara sinergi, sehingga tujuan dalam penanganan stunting dapat
berjalan secara terarah, terukur dan tepat sasaran. Melalui penjelasan di atas,
diharapkan penyampaian kendala serta masukan dapat digunakan sebagai bahan
monitoring dan evaluasi yang berguna untuk menjadi bahan pertimbangan dalam
membuat kebijakan di tahun anggaran selanjutnya.
No comments
berkomentar yang sopan dan tertib